Selasa, 04 Oktober 2016

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT HUKUM PERNIKAHAN



TUGAS MAKALAH FIQH MUNAKAHAT
HUKUM PERNIKAHAN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu: Dr. Eko Siswanto, M.HI

         
Oleh
Nama                 : Muhammad Fathan naim
Nama                 : Achmad Khoirul Umam
Semester            : III (Tiga)


JURUSAN SYARI’AH
PRODI AHWALLU SYAHSIYYAH
SEKOLAH  TINGGI  AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
 AL-FATAH  JAYAPURA
2016


A.  PENGERTIAN PERKAWINAN
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan juga disebut dengan “pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح)   yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,  dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering  dipergunakan untuk arti bersetubuh (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Menurut hukum islam,terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
اَلزَّوَاجُ شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ وَضَعَهُ الشَّارْعُ لِيُفْيِدَ مِلْكَ اسْتِمْتَاعِ الرَّجُلِ بِالْمَرْأَةِ وَحِلَّ اسْتِمْتَاعِ الْمَرْأَةِ بِاالرَّجُلِ
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Abu Yahya Zakariya al-Anshary mendefinisikan sebagai berikut :
النِكَاحُ شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ انْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau kata-kata yang semakna dengannya”

Menurut Zakiah Darajat nikah adalah
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ النِّكَاحِ أَوِ التَّزْوِيْجِ أَوْ مَعْنَا هَمَا
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengannya”

Selain definisi-definisi di atas, ada definisi lain yang lebih luas. Definisi ini diberikan oleh Muhammad Abu Israh yang juga dikutip oleh Zakiah Darajat yang berbunyi:

عَقْدٌ يُفِيْدُ حَلَّ الْعُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَ الْمَرْأَةِ وَ تَعَاوَنُهُمَا وَيُحَدُّمَا لِكَيْهِمَا مِنْ حُقُوْقِ وَمَا عَلَيِهِ مِنْ وَاجِبَاتٍ
“Akad yang memberikan faedah hukukm kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan /maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya;
Pasal 2
Perkawinanan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan gholidon atau menaati perintah allah dan melakukanya adalah ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah
Pasal 4
Perkawinan adalah sah,apabila dailakukan menurut hukum islam sesuaideengan pasal  2 ayat(1) undang undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

Hakikat perkawinan menurut peraturan undang undangan
Sedangkan menurut KUHP perdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek subyek yang mengikatkan diri dalam pernikahan. Hubungan tersebut di dasarkan pada persetujuan di antar mereka dan dengan adanya    persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: perkawinan merupakan sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipillih oleh Allah SWT sebagai jalan sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasanga siap melakukan peranya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainya yang bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia. Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seksual, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang dapat dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran islam diletakkan di bawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula.[1]     
A.  PENGERTIAN PERKAWINAN MENURUT EMPAT MADZHAB
Istilah perkawinan atau juga disebut pernikahan berasal dari bahasa Arab yaitu an-nikah yaitu berdasarkan pendapat para ulama fiqih terkemuka (imam madzhab) definisi nikah atau pernikahan antara lain sebagai berikut
1.         Definisi nikah dalam mazhab Hanafi
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat pada “kepemilikan” hubungan seksual secara sengaja.
Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki, karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2.        Definisi nikah dalam mazhab Maliki
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang bukan mahrom, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan sighah.
3.         Definisi nikah dalam mazhab Syafi’i
Ulama dalam mazhab ini mendefinisi kan nikah adalah sebagai akad yang berdampak akibat kepemilikan hubungan seksual.
Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang memperbolehkan seksual, bukan akad atas kepemilikan seksual.
Jadi, akad yang mencakup pembolehan hubungan seksual dengan lafal nikah, tawizd atau lafal lain yang maknanya sepadan.
4.         Definisi nikah dalam mazhab Hambali
Ulama dalam mazhab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari nikah.
Menurut ulama Hambaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan menggunakan kata “ankah” atau “tazwij” untuk kesenangan seksual[2].

B.  SIKAP AGAMA ISLAM TERHADAP PERKAWIANAN
Perkawinan adalah merupakan sunatullah yang dengan sengaja di ciptakan oleh Allah  yang antara lain  tujuanya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan´lainya Dalam al Qur’an Allah berfirman
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S adz Dzaariyat :49)
Allah menciptakan mahluk-Nya  bukan tanpa tujuan,tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hamba Nya di dunia ini menjadi rentram  sebagaimana firma Nya
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً  إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S Arrum ayat 21)
 Allah SWT sengaja menumbuhkan rasa kasih dan sayang ke dalam hati masing masing pasangan, agar terjadi keharmonisan ketentraman dalam membina suatu rumah tangga[3].
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan  itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuanya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan.
Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan yang sejahtera. Karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung dari kepada kesejahteraan keluarga. Demikian kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Isalam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu  pekawinan pekawinan sangat di anjurkan oleh islam bagi yang telah memiliki kemampuan. Tujuan itu dinyatakan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir   Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam Q.S Ar-Ra’d ayat 38:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً  وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.
Sabda Nabi diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadits dan Imam Muslim:
......وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عِنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى (رواه الجماعة والمسلم)
...... Dan aku akan mengawini wanita-wanita, barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk umatku[4].
Berkeluarga yang baik menurut Islam sangan menunjang untuk menuju kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki Tuhan. Firman Allah dalam surah an-Nur : 32 perlu mendapat perhatian bagi orang yang akan berkeluarga:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ  إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Islam menganjurkan  orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melaluai berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi SAW. Riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW  bersabda, “Hai parapemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah,maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapatmenundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Danbarangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa,karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat[5]
Begitu pula dari segi ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amalan kebaikan sekarang, dengan berkeluarga akan dapat dipenuhi. Dengan berkeluarga orang akan mempunyai anak dan dari anak yang soleh diharapkan mendapat amal tambahan di samping amal-amal jariyah yang lain. Sesuai dengan sabda Nabi SAW.
 Hadis yang dimaksud diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia mati maka amalnya terputus kecuali karena tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Ahmad 9079, Muslim 4310, Abu Daud 2882 dan yang lainnya[6]).

C.   HUKUM MELAKUKAN PERNIKAHAN
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:
Segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulamamalikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajip untuk sebagai orang, sunnatuntuk sebagai lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.demi kian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Perbedaan pendapat ini ibnu rusyd disebabkan adanya pernafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits berkenaan  dengan masaiah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin mubah? Ayat tersebut adalah:
.....فَنْكَحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ.....(النساء: ۳)
.....maka kawinilah wanita-wanita kamu senangi, dua, tiga atau empat.......
Di antara hadits yang berkenaan dengan nikah adalah:
تَنَا كَحُوْا فَاِنِّى مُكَاثِرُ بِكُمُ اْلاَمَمُ.........
Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat yang lain.....
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemashlahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, yaitu suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama’ mengingkari qiyas tersebut, tetapi dalam madzhab maliki tampak jelas dipegangi.
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunah (mandub) dan adakalanya mubah.
Ulama’ syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan nikah adalah mubah. Hal ini dipengaruhi pendapat ulama’ syafi’iyah.
Terlepas dari pendapat imam-imam madzhab, berdasarkan nash-nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakanya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah.

1.    MELAKUKAN NIKAH YANG HUKUMNYA WAJIB[7]
Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga,ada keinginan untuk bekeluarga  dan takut terjerumus ke dalam perbuatan zina,maka kepada orang tersebut  di wajibkan nikah.sebab menjaga diri jatuh keadalam perbuatan haram, wajib hukumnya. Hal ini tidak terwujud, kecuali dengan jalan berumah tangga.
       Menurut al-qurtubi orang yang lelah mampu dan takut pula akan merusak jiwanya dan agamanya harus bekeluarga.
Apabila hasrat untuk menikah telah begitu mendesak,sedangkan biaya tidak ad atau di pandang kurang mencukupi,maka  ulatkan saja fikiran untuk menikah mudah-mudahan Allah memberi kelapangan sebagai mana firman Nya:



وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
Artinya
Dan orang orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia Nya.
Bila tidak memungkinkan juga,di sarankan memperbanyak puasa untuk mengurangi tekanan hawa nafsu demikian petuntuk yang di berikan Rasulullah SAW[8].
Misalnya, seorang pemuda memiliki banyak harta dan berlimpahan materi, dan dia tidak mampu mnahan syahwatnya sehingga akan dengan mudah terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Pada saat bersamaan dia juga memiliki kewajiban menunaikan ibadah haji karena syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Maka, dalam keadaan seperti itu dia harus menikah terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “jika seorang harus menikah karena takut terjerumus ke lembah perzinaan maka dia harus mendahulukannya daripada kewajiban berhaji.”
Bahkan, jika keadaan sudah darurat, dalam arti bahwa seseorang benar-benar terjerumus ke dalam perzinaan, maka menikah hukumnya wajib baginya, baik sudah siap secara materi maupun belum sama sekali.
Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir akan kaya.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ  إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika  mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Nur [24]: 32).
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
a.         Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
b.         Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak terjadinya zina.
c.         Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari isteri.
d.        Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
Versi Imam Maliki
Hukum menikah menjadi wajib apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.             Hawatir melakukan zina
b.            Tidak mampu berpuasa atau mampu tapi puasanya tidak bisa mencegah terjadinya zina.
c.             Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai pengganti isteri dalam istimta’
Versi Imam Syafi’i
Hukum menikah menjadi wajib apabila:
a.         Ada biaya (mahar da nafkah)
b.         Hawatir berbuat zina bila tidak menikah.
Versi Imam Hambali
Hukum menikah menjadi wajib aoabila ada kehawatiran berbuat zina bila tidak menikah, baik dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah) maupun tidak.

2.    MELAKUKAN NIKAH YANG HUKUMNYA SUNAH[9]
Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak di khawatirkan mrnjerumus keperbuatan zina (haram), maka sunat baginaya menikah supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha
Kalau sudah mampu sebaiknya menikah, karena agama islam tidak membenarkan seseorang hidup seperti pendeta[10].
Hukum nikah akan menjadi sunnah apabila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a.         Ada keinginan menikah.
b.         Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
c.         Mampu untuk ijma’
Versi Imam Maliki
Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin untuk menikah dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang wajib baginya.
Versi Imam Syafi’i
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila ada keinginan menikah dan ada biaya (mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan hal-hal yang ada di dalam pernikahan.
Versi Imam Hambali
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang berkeinginan menikah, dan juga ia tidak hawatir berzina andaikan tidak menikah.

3.         MELAKUKAN NIKAH YANG HUKUMNYA HARAM[11]
Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tiadak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin haram baginya menikah, sebab akan menyakiti wanita yang akan di nikahinya. Apabila ada tersirat niat menipu wanita itu atau menyakitinya.
Kita tentu pernah mendengar cerita orang yang mengaku sebagai pegawai (karyawan) dan pengusaha, tetapi setelah menikah ternyata penganguran atau penjahat.
Orang tersebut tentu tidak mengenal hukum haram menikah, bahkan di sarankan puasa dia keberatan[12].
Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau setelah menikah akan memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan berbuat dzalim pada orang lain.
Versi Imam Maliki
Hukum menikah menjadi haram apabila tidak hawaatir zina dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau atau tidak mampu jima’, sementara isterinya tidak ridlo.
Versi Imam Syafi’i
Hukum menikah menjadi haram apabila memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam pernikahan.
Versi Imam Hambali
Hukum menikah menjadi  haram apabila menikah di tempat yang sedang terjadi peperangan.

4.         MELAKUKAN NIKAH YANG HUKUMNYA MAKRUH[13]
Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin,tetapi tidak sampai menyusahkan wanita itu, kalau diaorang berada dan kebutuhan biologis pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu di mahruhka menikah sebab, walau bagaimanapun nafkah menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri[14].
Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikah ada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.
Versi Imam Syafi’i
Hukum menikah menjadi makruh apabila tidak ada keinginan untuk menikah, tidak ada biaya dan ia hawatir tidak bisa melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.

5.         MELAKUKAN NIKAH YANG HUKUMNYA MUBAH[15] (BOLEH NIKAH)
Pada dasarnaya hukum nikah itu adalah mubah (boleh),karena tidak ada dorongan atau larangan untuk menikah[16].
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.
Versi Imam Maliki
Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak ingin menikah dan tidak mengharap keturunan, sedangkan ia mampu menikah dan tetap bisa melakukan hal-hal sunnah.
Versi Imam Syafi’i
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia menikah hanya semata-mata menuruti keinginan syahwatnya saja.
Versi Imam Hambali
Hukum menikah menjadi mubah apabila seseorang tidak berkeinginan menikah.



DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”.SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2.
Dr.H. Abd. Rahman Ghazali, M.A.”FIQH MUNAKAHAT”, kencana, Ed.1. cet. 2, jakarta 2003
D.Y. WINATO,S. H.”Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin pasca keluarnya putusan MK tentang uji materil UU perkawinan”. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta 2012. Cet. 1.
Kitab terjemah Bhulughul Marom.



[1] Dr.H. Abd. Rahman Ghazali, M.A.”FIQH MUNAKAHAT”, kencana, Ed.1. cet. 2, jakarta 2003, hal.6-11
[2] D.Y. WINATO,S. H.”Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin pasca keluarnya putusan MK tentang uji materil UU perkawinan”. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta 2012. Cet. 1. Hal.58
[3] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal. 1-2
[4] Kitab terjemah Bhulughul Marom. Hadits ke 995. Hal. 469
[5] Kitab terjemah Bhulughul Marom. Hadits ke 994. Hal. 469
[6] Sumber: https://konsultasisyariah.com/26254-apa-maksud-doa-anak-soleh.html
[7] Perkawinan yang hukumnya wajib yang berarti perkawinan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.
[8] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal.7-8
[9] Perkawinan yang hukumnya sunnah berarti perkawinan itu lebih baik di lakukan daripada ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
[10] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal. 8-7
[11] Perkawinan yang hukumnya haram berarti perkawinan itu dilarang keras dilakukan, jika dilakukan berdosa dan jika ditinggalkan maka akan pahala
[12] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal. 9
[13] Perkawinan yang hukumnya makruh berarti perkawinan itu lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.
[14] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal. 10
[15] Pernikahan yang hukumnya mubah berarti perkawinan itu boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sangsi apa-apa, yakni tidak mendapat phala dan tiak berdosa
[16] M. Ali Hasan “pedoman hidup berumah tangga dalam islam”. SIRAJA, Jakarta. 2006. Ed.1 cet.2. hal. 10